Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Republika
Tipe: Koran
Tanggal: 2017-01-19
Halaman: 18

Konten


2cm ISLAMIA JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA Syamsuddin Arif Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta ebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan oleh Bernard Lewis, guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, bahwa Islam dan Politik: Kajian dan Pandangan salah satu ciri yang membe- dakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum, dan perundangan: "The religion of Islam, in contrast to both Judaism and Chris- tianity, was involved in the conduct of government and the enactment and en- forcement of law from the very begin- ning", tulisnya dalam buku Islam: The Religion and the People (New Jersey: Pearson, 2009), hlm. 81. Dengan kata lain, Islam adalah satu- satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu kebaha- giaan manusia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad ber- dakwah, berdagang, dan berperang. Pun para sahabat beliau yang melihat kekua- saan politik sebagai amanah (trust) dan fitnah (test). Simaklah pidato pelantikan mereka sebagai khalifah berikut ini. Abu Bakar as-Shiddiq berkata, "Se- sungguhnya aku telah dikalungi tang- gung jawab yang besar (laqad qullidtu amran 'aziman), padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Maka dukunglah aku jika tindakanku benar, dan betulkan jika aku salah. Patuhilah aku selagi aku taat kepada Allah dan Ra- sul-Nya. Namun, jika aku menyalahi pe- rintah Allah, maka aku tidak perlu kalian patuhi!" (Lihat: Ibn Sa'd, at-Tabaqat, ed. Ihsan 'Abbas, cetakan Dar Sadir Beirut, 1957-1960, jilid 3, hlm. 182-3). Terlepas dari segala keterbatasan dan kesederhanaannya, apa yang telah diga- riskan dan dijalankan oleh Rasulullah ataupun para sahabat (khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan konseptualisasi dan implementasi dari apa yang dike- hendaki Allah SWT. Dan inilah yang kita maksud dengan 'politik Islam', dalam arti negara berpandukan agama dan peme- rintahan berasaskan hukum Tuhan pen- cipta jagad raya, langit dan bumi, terma- suk manusia. Kita boleh menyebutnya 'al-madinah al-fadhilah' (the virtuous polity) atau 'as-siyasah as-syar'iyyah' (state governance based on Divine Law) -meminjam ungkapan al-Farabi dan Ibn Taymiyyah. Halaman ini terselenggara atas kerja sama Republika dengan INSISTS Kajian Politik Islam Meskipun Islam dan politik telah me- nyatu sejak awal, di mana Nabi Mu- hammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, melainkan juga pemimpin bangsa dan negara, seba- gai leader dan ruler, kajian politik Islam secara ilmiah, teoretis, dan sistematis baru bermula pada kurun kedua Hijriah. Secara umum, pemikiran politik Islam INSISTS Committed to the t Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Handrianto, Tiar Anwar Bachtiar. merupakan sintesis dan amalgamasi dari konsep-konsep kepemimpinan yang di- kenal dalam masyarakat Arab pra-Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni Al- quran dan sunah) dengan tradisi bang- sa-bangsa yang ditaklukkan, seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia, dan Mongol. Sejauh ini, karya pertama yang di- ketahui secara sistematis membahas ketatanegaraan dari perspektif Islam adalah bab politik dari kitab as-Siyar al- Kabir yang ditulis oleh Muhammad ibn al-Hasan as-Syaybani (w. 189/804), se- orang ulama besar Irak abad kedua/sem- bilan. Ini diikuti oleh bagian pertama (kitab as-Sultan) dari 'Uyun al-Akhbar karya Ibn Qutaybah (w. 276/885) dan bagian pertama dari kitab al-'Iqd al- Farid karya Ibn 'Abd Rabbih. Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan dalam tiga wilayah be- sar. Pertama, kajian tradisional-normatif, yakni pembahasan konsep-konsep dan norma-norma perpolitikan yang diu- raikan oleh para ulama: Termasuk dalam kategori ini, tiga kitab yang kita sebut di atas. Namun, sebenarnya wilayah ini pun masih bisa dipilah lagi menjadi beberapa kategori: (i) ulama ahli telogi atau muta- kallimun dari golongan Ahlus Sunnah (al-Asy'ari, al-Baqillani, al-Baghdadi) maupun Mu'tazilah (al-Jahiz dan al-Qadi 'Abd al-Jabbar) yang masing-masing menyediakan satu bab khusus dalam kar- yanya terhadap masalah imamah atau kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak, dengan proses pemilihan ataukah penunjukan, dan sebagainya; (ii) ulama ahli hadis atau muhadditsun (seperti Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi) yang juga menaruh perhatian terhadap hadis-hadis politik (contohnya kitab al- imarah' dalam Sahih Muslim). Selanjutnya (iii)ada ulama ahli hu- kum atau fuqaha' (al-Mawardi, al-Farra', al-Juwayna) yang masing-masing menu- lis buku khusus untuk mengupas fikih politik dan pemerintahan; (iv) ulama pujangga atau udaba' (Ibn al-Muqaffa', al-Jahsyiyari, at-Tsa'alabi, at-Tartusyi); (v) ulama ahli filsafat atau falasifah (al- Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd) yang mewa- kili tradisi pemikiran atau filsafat politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles). Ciri khas dari kajian jenis ini adalah banyak- nya aturan dan anjuran yang perlu dipa- hami dan dilakukan oleh seorang pe- mimpin agar dihormati oleh bawahan- nya, dicintai oleh rakyatnya, dan disegani oleh musuh-musuhnya. Walaupun juga diselingi contoh-contoh kasus, kebanyak- an merupakan pernyataan-pernyataan induktif-normatif yang masih bisa dan perlu dikukuhkan oleh penelitian empiris atau bahkan uji-coba lapangan. Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan pendekatan para sarjana Barat atau ahli ketimuran (orientalis). Politik Islam dikaji sebagai pusaka ilmiah (intellectual heritage) tak ubahnya se- perti artifak kuno dikaji oleh ahli arke- ologi. Politik Islam itu masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Po- KAMIS, 19 JANUARI 2017 litik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, ataupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi seka- rang ini. Kalau memang relevan, me- ngapa tak ada satupun negara Islam saat ini yang mengacu padanya? Namun jika tidak relevan sama sekali, lantas untuk apa semua itu dikaji? Jawaban para sar- jana orientalis untuk pertanyaan ini tidak cukup beragam; dari sekadar memenuhi dahaga intelektual dan memperlihatkan wawasan budaya, hingga untuk menda- patkan cermin bagi merumuskan kebi- jakan luar negeri dalam hubungan dengan negara-negara Islam. Sebagai contoh pendekatan tekstu- al-historis ini adalah kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian nas- kah kitab Ibn Rusyd yang menguraikan Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin Rosenthal, kajian naskah kitab Ara' Ahl al-Madinah al-Fadilah karya al-Farabi oleh Richard Walzer di Oxford, dan ma- sih banyak lagi. Pendekatan ala orientalis ini sebenarnya bermanfaat sekali untuk mengenalkan kita pada khazanah pemi- kiran politik yang dimiliki umat Islam. Akan tetapi di sisi lain, ia sering kali juga membawa orang menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya, timbul perasaan miris ketika melihat kenyataan tidak seindah pengharapan. Ketiga, kajian sekuler-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan keyakinan -yang sesung- guhnya boleh jadi keliru- bahwa ketidak- mampuan umat Islam menghadapi kolo- nialisme Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan ini disebab- kan oleh ajaran Islam yang tidak menge- nal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk. Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini. Dapat kita sebut misalnya 'Ali 'Abd al-Raziq yang menulis buku al-Islam wa U Sul al -Hukm (1967), Khalid Muhammad Khalid, pe- nulis Min Huna Nabda' dan ad-Dimu- qratiyyah Abadan (1953), 'Abd al-Ghani Sani yang menulis al-Khilafah wa Sultat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa ber- pikir panjang menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern, seperti demokrasi dan sebagainya. Ha- nya dengan meniru sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sis- tem demokrasi dan konsep negara seku- ler agar dapat diterima dan diamalkan oleh umat Islam. 'Islam Politik' Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan berabad-abad lamanya, isti- 18 AGUNG SUPRIYANTO/REPUBLIKA lah 'Islam politik' terbilang baru. Para pengamat non-Muslim sengaja mencip- takan istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya. Menurut mereka, 'Islam politik' adalah sikap dan prilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyaki- nan bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kon- troversial ini mereka pakai untuk mem- bedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap seba- gian lainnya yang sangat aktif berpolitik. Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku 'Islam politik', yaitu paradigma pesimis radikal, para- digma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat. Kita mulai dengan yang pertama. Paradigma pesimis radikal di- wakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis 'Islam politik' sebe- narnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi mengegolkan agenda-agenda me- reka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-cleri- cal). Roy menjuluki mereka neo-funda- mentalis yang tidak sama dengan kaum Islamis. Aktivis 'Islam politik' kalaupun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh de- mokrasi, menindas rakyat, menghancur- kan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mem- pengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E Fuller dan Kikue Hamayotsu. Paradigma kedua yang utopian radi- kal bercita-cita mendirikan sebuah ne- gara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demo- krasi negara modern. Paradigma ini di- wakili, antara lain, oleh Abu 'l-A'la al- Mawdudi dan Sayyid Qutb yang menge- depankan konsep negara bukan berda- sarkan kebangsaan atau nasionalisme, akan tetapi negara berdasarkan agama, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat atau demokrasi, akan tetapi berdasarkan hukum Allah atau Syari'ah. Gagasan ini tentu saja dianggap utopian karena amat sukar untuk tidak mengatakan musta- hil-direalisasikan pada zaman sekarang ini kecuali dengan revolusi politik yang menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan. Itulah sebabnya gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana lazim- nya kelompok revolusioner disebut atau menyebut diri mereka -for better or worse. Paradigma optimis moderat tidak sependapat dengan Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu di- pertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, melainkan pengalaman dan pengamalan lebih dari seribu tahun lamanya. Dan, karena itu, 'Islam politik' bukan utopia atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti M Natsir, mi- salnya, Indonesia bukan negara sekuler. 'Islam politik' tidak harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui cara- cara yang konstitusional 'Islam politik' dapat dan mesti berkompetisi dengan kelompok lain dalam NKRI untuk sama- sama merawat negeri dengan semangat fastabiqul khairat(berlomba-lomba meraih kebaikan) dan amar ma'ruf nahi mungkar (commanding good and pro- hibiting evil). ISLAMIA JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA Color Rendition Chart Sz Kkal Muhammad Ardiansyah Pengasuh Ponpes Shoul Lin al-Islami, Depok PENDI KEPEM ung I su kepemimpi jadi perhatian Umat rindu d pemimpin ya Tuhannya da rakyatnya. Mem pin yang beradab dan am bagi semua orang; per dan berani membela ke ini umat menyaksika mimpin-pemimpin ya berbagai bidang itu kare (the loss of adab) yang saknya ilmu (confus (SMN al-Attas, Risa. Muslimin, Kuala Lum hlm. 138-139). Masalah kepemin tidak bisa dipisahkam pendidikan. Pemimpin turun dari langit, teta pendidikan yang berk tidaknya pemimpin ya bergantung dengan dijalani. Sejarah pera- catat lahirnya sejumla pasca wafatnya Rasul satunya adalah sang pe nopel. Dialah Sultan M kemudian diberi gela gembira kelahiran sang disampaikan oleh Rasu sabdanya: "Kota Kor jatuh ke tangan Islam menaklukkannya ad pemimpin dan pasuk bawah komandonya a pasukan." (HR Ahmac Tentang kelebihan Napoleon mengatakar dunia ini diperintah ole niscaya Konstantino yang baik untuk men (Abul Hasan Ali al-Nad nia Bila Islam Mundu Dakwah, 1983, hlm. 1- kian, penaklukan Kon dipimpin Muhamma pakan prestasi luar bia dilupakan. Hal ini me umat Islam mampu me memiliki semangat jua Oleh karena itu, tu ngupas sebagian episoc sang penakluk Konsta mad al-Fatih. Banyak bisa diambil dan diren pendidikan yang dijala mampu menjadi pemi yang sangat muda, yait Muhammad II be ayah yang sangat pec didikan. Al-Shalabi m sang ayah, Sultan Mu carikan guru-guru terb anaknya itu. Meski c pendidikannya, Muh naati perintah guru-g rad II tidak putus asa. yang disegani, be kap tegas untuk mend jadi manusia yang be guru akhirnya mendapat orang-orang terdekat Maula Ahmad ibn Ism mendidik putranya. bani yang memiliki k dan adab. Al-Kurani sebagai pendidik ana sebuah tongkat untuk mad jika tidak taat Setelah mendapat Murad II, Al-Kurani Muhammad II sambi mengirimku kepadan