Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Republika
Tipe: Koran
Tanggal: 2017-01-19
Halaman: 19

Konten


KAMIS, 19 JANUARI 2017 n roses, regulasi, uanya menarik sejarah yang an mungkin tak an situasi seka- g relevan, me- egara Islam saat ya? Namun jika li, lantas untuk vaban para sar- anyaan ini tidak adar memenuhi memperlihatkan a untuk menda- umuskan kebi- am hubungan slam. Hekatan tekstu- jian pemikiran h Henri Laoust, si negara zaman ton, kajian nas- g menguraikan ato oleh Erwin kitab Ara' Ahl karya al-Farabi Oxford, dan ma- an ala orientalis aat sekali untuk chazanah pemi- iki umat Islam. sering kali juga rawang jauh di timbul perasaan enyataan tidak -modernis yang ia Islam dijajah a-bangsa Eropa. dari anggapan -yang sesung- -bahwa ketidak- Sul al-Hukm mad Khalid, pe- 'dan ad-Dimu- 3), 'Abd al-Ghani ilafah wa Sultat ka ini tanpa ber- ulat-bulat aneka k Barat modern, sebagainya. Ha- em politik Barat, a maju dan kuat, mereka. Pendek enghadapi kolo- kan oleh sistem lan ini disebab- ng tidak menge- ama dan negara. atau demokrasi, akan tetapi berdasarkan hukum Allah atau Syari'ah. Gagasan ini tentu saja dianggap utopian karena amat sukar untuk tidak mengatakan musta- hil-direalisasikan pada zaman sekarang ini kecuali dengan revolusi politik yang menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan. Itulah sebabnya gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana lazim- nya kelompok revolusioner disebut atau Dapat kita sebut menyebut diri mereka -for better or ziq yang menulis worse. an sekularisasi kan oleh Kemal endekiawan pun tik ini berupaya an terhadap sis- sep negara seku- dan diamalkan 18 ah dipahami dan d lamanya, isti- ASUNG SUPRIYANTO/REPUBLIKA lah 'Islam politik' terbilang baru. Para pengamat non-Muslim sengaja mencip- takan istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya. Menurut mereka, 'Islam politik' adalah sikap dan prilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyaki- nan bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kon- troversial ini mereka pakai untuk mem- bedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap seba- gian lainnya yang sangat aktif berpolitik. Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku 'Islam politik', yaitu paradigma pesimis radikal, para- digma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat. Kita mulai dengan yang pertama. Paradigma pesimis radikal di- wakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku The Failure of Political Islam (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis 'Islam politik' sebe- narnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi mengegolkan agenda-agenda me- reka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-cleri- cal). Roy menjuluki mereka neo-funda- mentalis yang tidak sama dengan kaum Islamis. Aktivis 'Islam politik' kalaupun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh de- mokrasi, menindas rakyat, menghancur- kan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mem- pengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E Fuller dan Kikue Hamayotsu. Paradigma kedua yang utopian radi- kal bercita-cita mendirikan sebuah ne- gara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demo- krasi negara modern. Paradigma ini di- wakili, antara lain, oleh Abu 'l-A'la al- Mawdudi dan Sayyid Qutb yang menge- depankan konsep negara bukan berda- sarkan kebangsaan atau nasionalisme, akan tetapi negara berdasarkan agama, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat Paradigma optimis moderat tidak sependapat dengan Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu di- pertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, melainkan pengalaman dan pengamalan lebih dari seribu tahun lamanya. Dan, karena itu, 'Islam politik' bukan utopia atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti M Natsir, mi- salnya, Indonesia bukan negara sekuler. 'Islam politik' tidak harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui cara- cara yang konstitusional 'Islam politik' dapat dan mesti berkompetisi dengan kelompok lain dalam NKRI untuk sama- sama merawat negeri dengan semangat fastabiqul khairat(berlomba-lomba meraih kebaikan) dan amar ma'ruf nahi mungkar (commanding good and pro- hibiting evil). ISLAMIA JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA Sumo Kykali PENDIDIKAN DAN KEPEMIMPINAN su kepemimpinan saat ini men- jadi perhatian besar umat Islam. Umat rindu dengan kehadiran pemimpin yang takut kepada Tuhannya dan sayang kepada rakyatnya. Mereka rindu pemim- pin yang beradab dan menjadi teladan sama bagi semua orang; pemimpin yang adil I mu. Dia menyuruhku untuk memukulmu jika kamu tidak mau melaksanakan perin- tahku." Mendengar itu, Muhammad ter- tawa. Tanpa basa basi, Maula al-Kurani langsung memukulnya dengan sangat keras di majelis itu. Pukulan itu ternyata membuat Muhammad takut dan segan kepadanya. Akhirnya, Maula al-Kurani ber- hasil membuatnya serius belajar dengan penuh adab. Dia pun berhasil mengkha- tamkan Alquran dalam waktu singkat di bawah bimbingan gurunya itu. (Ali Mu- hammad al-Shalabi, Fâtih Qasthan- thîniyyah Sulthân Muhammad al-Fâtih, Kairo:Dar Ibn al-Jauzi, 2007), hlm. 55). dan berani membela kebenaran. Jika saat ini umat menyaksikan munculnya pe- mimpin-pemimpin yang tidak layak di berbagai bidang itu karena hilangnya adab (the loss of adab) yang bermula dari ru- saknya ilmu (confuse of knowledge). (SMN al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001, hlm. 138-139). Muhammad Ardiansyah Pengasuh Ponpes Shoul Lin al-Islami, Depok Masalah kepemimpinan memang tidak bisa dipisahkan dengan masalah pendidikan. Pemimpin yang hebat tidak turun dari langit, tetapi dilahirkan dari pendidikan yang berkualitas. Baik atau tidaknya pemimpin yang muncul sangat bergantung dengan pendidikan yang dijalani. Sejarah peradaban Islam men- catat lahirnya sejumlah pemimpin hebat pasca wafatnya Rasulullah SAW. Salah satunya adalah sang penakluk Konstanti- nopel. Dialah Sultan Muhammad II yang kemudian diberi gelar al-Fatih. Berita gembira kelahiran sang penakluk ini telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: "Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan." (HR Ahmad). Tentang kelebihan Konstantinopel, Napoleon mengatakan "Kalau sekiranya dunia ini diperintah oleh satu negara saja, niscaya Konstantinopel adalah negeri yang baik untuk menjadi ibu kotanya." (Abul Hasan Ali al-Nadwi, Apa Derita Du- nia Bila Islam Mundur, Jakarta: Media Dakwah, 1983, hlm. 146). Dengan demi- kian, penaklukan Konstantinopel yang dipimpin Muhammad al-Fatih meru- pakan prestasi luar biasa yang tidak boleh dilupakan. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam mampu memimpin dunia jika memiliki semangat juang yang tinggi. Oleh karena itu, tulisan ini coba me- ngupas sebagian episode perjalanan hidup sang penakluk Konstantinopel, Muham- mad al-Fatih. Banyak pelajaran berharga bisa diambil dan direnungkan, bagaimana pendidikan yang dijalaninya membuatnya mampu menjadi pemimpin hebat di usia yang sangat muda, yaitu sekitar 22 tahun. Muhammad II beruntung memiliki ayah yang sangat peduli terhadap pen- didikan. Al-Shalabi menceritakan bahwa sang ayah, Sultan Murad II, selalu men- carikan guru-guru terbaik untuk mendidik anaknya itu. Meski di awal-awal masa pendidikannya, Muhammad tidak me- naati perintah guru-gurunya. Sultan Mu- rad II tidak putus asa. Dia terus mencari guru yang disegani, berwibawa dan bersi- kap tegas untuk mendidik anaknya men- jadi manusia yang beradab. Sang ayah akhirnya mendapat rekomendasi dari orang-orang terdekatnya agar meminta Maula Ahmad ibn Ismail al-Kurani untuk mendidik putranya. Seorang Alim Rab- bani yang memiliki kesempurnaan ilmu dan adab. Al-Kurani kemudian diangkat sebagai pendidik anaknya, dan dibekali sebuah tongkat untuk memukul Muham- mad jika tidak taat kepadanya Setelah mendapat amanah dari Sultan Murad II, Al-Kurani langsung menemui Muhammad II sambil berkata, "Ayahmu mengirimku kepadamu untuk mendidik- Dari penggalan kisah hidup Muham- mad al-Fatih ini, kita bisa melihat sebuah proses pendidikan yang luar biasa. Ada si- nergi dan kesungguhan dari tiga pihak, orang tua, guru, dan anak didik (murid). Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Zarnuji bahwa proses pendidikan me- merlukan kesungguhan tiga pihak; pelajar, guru, juga orang tua jika masih ada. (Ibra- him ibn Isma'il al-Zarnuji, Ta'lim al-Mu- ta'allim Thariq al-Ta'allum, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2007, hlm. 43). Sultan Murad II mampu memainkan peran yang baik sebagai seorang ayah. Di tengah kesibukannya memimpin umat yang sangat besar, dia tidak melupakan perihal pendidikan anaknya. Dia terus mencarikan guru terbaik, bahkan meng- izinkan guru putranya itu untuk mendidik dengan lebih keras jika diperlukan. Kebi- jakan yang sama juga pernah dilakukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Kepada guru pribadi anaknya, Harun al-Rasyid berkata: "Jangan bersikap ter- lalu keras sampai membahayakan pikiran dan tubuhnya, dan jangan terlalu lemah hingga ia bermalas-malasan dan akhirnya tenggelam dalam kemalasan. Bimbinglah sesuai dengan kemampuanmu dengan ca- ra-cara yang baik dan lembut, tetapi jangan ragu untuk bersikap keras dan te- gas ketika ia tidak memperhatikan atau mengabaikanmu. (Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Se- mesta, 2013, hlm. 513). Hal ini penting diperhatikan oleh para orang tua saat ini. Jangan sampai kewa- jiban mendidik anak diabaikan dengan alasan sibuk pekerjaan. Padahal, Allah SWT menitipkan amanah pendidikan anak kepada orang tuanya sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Tahrim: 6, "Jaga- lah dirimu dan keluargamu dari api ne- raka." Ahli tafsir dari kalangan sahabat seperti Ali ibn Abi Thalib menafsirkan ayat itu dengan "addibuhum wa 'allimu- hum", yang artinya didiklah mereka dengan adab dan ajarkanlah mereka ilmu. (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhim, Singapura: Sulaiman Mar'i, tanpa tahun, Juz III, hlm. 391. Lihat juga Abu Nashr al- Sarraj, al-Luma' fi Tarikh al-Tashawwuf al-Islâmiy, Beirut: Dar al-Kutub al- 'Ilmiyyah, 2007, hlm. 136). Kewajiban orang tua memperhatikan adab dan ilmu ini tidak cukup menyerah- kan anak-anak mereka ke sekolah, pesan- tren, atau lembaga pendidikan lainnya. Yang paling utama adalah bagaimana orang tua memperhatikan pendidikan anaknya ketika di rumah. Sungguh sebuah kesalahan besar jika orang tua meng- artikan pendidikan dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anak ke- pada guru di sekolah atau pesantren. Sementara ketika di rumah, mereka tidak pernah peduli pendidikan anak-anaknya sama sekali. Ibarat mendirikan sebuah bangunan, kondisi seperti ini persis bagai- kan tangan kanan membangun, semen- KAMIS, 19 JANUARI 2017 tara tangan kiri merobohkan. Kapan ba- ngunan akan sempurna berdiri dengan kokoh? Keterbatasan waktu yang dimiliki orang tua dalam mendidik anak-anaknya tidak boleh membuatnya lupa tanggung jawabnya sama sekali. Orang tua harus tetap meluangkan waktu untuk berkomu- nikasi dengan anaknya dan mendukung guru-guru anaknya dalam proses pen- didikannya, meskipun memerlukan tin- dakan disiplin yang tegas pada saat-saat tertentu. Perhatian orang tua lebih berni- lai dari pemberian lainnya dalam bentuk apa pun. Ibrah berikutnya dari penggalan kisah di atas adalah sosok guru yang amanah. Al-Kurani sadar bahwa tangung jawab pendidikan ini bukan hanya kepada Sultan Murad II, melainkan juga kepada Allah SWT. Oleh karena itu, dia menger- ahkan seluruh pikiran dan tenaganya untuk mendidik putra sultan itu menjadi manusia yang baik. Kebijakan dan izin dari Sultan untuk menggunakan tongkat sebagai alat kedisiplinan juga diman- faatkan dengan tepat. Karena dia mema- hami dengan baik bahwa pukulan itu ber- tujuan untuk mendidik (ta'dîb), bukan untuk menyiksa (ta'dzîb). Nabi Muhammad SAW memberi to- leransi untuk memukul anak yang tidak mau shalat di usia 10 tahun. (HR Abu Daud). Banyak ulama juga mengizinkan guru untuk memukul anak didiknya jika diperlukan. Muhammad Ibn Sahnun dan Abul Hasan Ali ibn Muhammad Khalaf Al-Qabisi membolehkan pendidik untuk memukul anak maksimal 10 kali pukulan, jika mereka main-main dan melanggar disiplin. (Selengkapnya lihat Bradley J Cook, Classical Foundation of Islamic Educational Thought, Utah: Brigham Young University Press, 2010). Sedangkan Ibn Sina berpendapat pen- tingnya tongkat dan menjadi bagian dari seni mengajar yang mesti dimiliki oleh seorang pendidik. Bahkan, menurut dia, jika pendidik membutuhkan penggunaan tangan maka ia diperbolehkan memukul anak dengan agak keras sebagai shock therapy, yang membuat si anak jera dan tidak mengulangi kesalahannya. (Muham- mad Utsman Najati, al-Dirâsat al-Naf- sâniyyah Inda al-'Ulama' al-Muslimin, Kairo: Dar al-Syuruq, 1993, hlm. 145). Penegakan disiplin dengan pemukulan tentu bukan keharusan dalam pendidikan, tapi jika diperlukan hal itu dibolehkan dengan batasan-batasan yang wajar dan dengan tujuan yang benar. Orang tua harus memahami masalah ini, agar tidak bertin- dak main hakim sendiri ketika mendengar anaknya dipukul oleh gurunya. Hal ini penting agar si anak tumbuh menjadi manusia yang kuat, tidak manja dan mudah menyerah menghadapi berbagai tantangan kehidupan di masa depannya. Syekh Aaq Syamsuddin Selain' al-Kurani, Muhammad II juga memiliki guru hebat yang mendidiknya. Dialah Syekh Aaq Syamsuddin. Seorang ulama besar yang dianggap sebagai pe- nakluk spiritual Konstantinopel. Kehadir- annya pada masa-masa penaklukan mem- buat Muhammad II benar-benar yakin akan merebut Konstantinopel. Dia selalu meyakinkan muridnya itu bahwa yang dimaksud pemimpin terbaik di dalam hadis penaklukan Konstantinopel itu adalah dirinya. Selain itu, doa-doanya juga ikut menyertai perjuangan sang murid yang hebat itu. Karena itu, al-Fatih sangat membanggakan gurunya itu. 19 ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA "Sesungguhnya kalian melihatku sangat gembira. Kegembiraanku bukan karena penaklukan benteng ini saja. Akan tetapi, kegembiraanku muncul karena adanya seorang Syekh yang mulia pada zamanku. Dia adalah guruku, Syekh Aaq Syamsuddin." (Ali Muhammad al-Shalabi, Fâtih Qasthanthiniyyah Sulthân Muham- mad al-Fâtih, hlm. 191). Pasca-penaklukan Syekh Aaq Syam- suddin tetap mendidiknya agar tidak lupa diri atas keberhasilannya itu. Setelah pe- naklukan, al-Fatih menemui gurunya itu untuk menyampaikan suatu hal penting. Namun, ketika al-Fatih keluar dari ruang gurunya, dia berkata kepada orang yang mendampinginya. "Syekh tidak mau ber- diri menyambutku." Lalu, orang itu ber- kata, "Barangkali beliau melihat ada ke- sombongan dalam diri Anda, karena pe- naklukan Konstantinopel itu tidak bisa dilakukan oleh para sultan besar lainnya. Dengan demikian, beliau ingin melawan sebagian kesombongan itu dari diri anda." (Ibid, hlm. 192). Ibrahnya, selain sebagai pendidik (educator), Syekh Aaq Syamsuddin me- nunjukkan perannya sebagai pemberi motivasi (motivator) yang mampu meya- kinkan anak didiknya akan potensi yang ada dalam diri mereka. Selain itu, guru yang baik juga tidak boleh lupa men- doakan muridnya dalam setiap kesem- patan. Dan yang paling penting, guru harus selalu menunjukkan wibawanya di hadapan muridnya, meskipun suatu hari muridnya itu sudah menjadi orang besar dalam pandangan orang lain. Hal ini agar si murid tetap menjaga adab dan tidak ter- jerumus dalam sikap takabur yang bisa membinasakannya. Ibrah terakhir dari kisah pendidikan al-Fatih adalah sosok murid yang memi- liki keinginan kuat untuk berubah men- jadi lebih baik. Pada awal studinya dia terkesan main-main, tetapi ada masanya seorang anak akan memahami adab dengan baik dan mengamalkannya secara bertahap dengan ikhlas. Dalam pendidik- an, ikhlas memang bukan hal yang mu- dah. Oleh karena itu, jika di awal pen- didikan murid belum bisa ikhlas dalam belajar, keberkahan ilmu akan mengan- tarkannya pada fase keikhlasan seiring perjalanan waktu. Para ulama menyebutkan ungkapan yang sesuai dengan masalah ini "ta'allam- nâ al-'ilma li ghayriLlah, fa aba al-'ilmu an yakuna illâ lillâh" artinya, kami pernah belajar bukan karena Allah, ternyata ilmu tidak mau hadir kecuali hanya karena Allah. Menurut Imam Nawawi, maksud dari ungkapan ini adalah pada akhirnya seorang akan masuk pada fase menuntut ilmu hanya karena Allah. (Muhyiddin Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzzab, Kairo: Dar al-Hadits, 2010, jilid I, hlm. 148). Murid juga harus sabar dalam didikan dan bimbingan guru. Itulah yang dilaku- kan al-Fatih selama digembleng disiplin oleh kedua gurunya sejak kecil sampai dewasa. Meski sebagai putra penguasa, bahkan ketika sudah menjadi pemimpin yang hebat, al-Fatih tetap memuliakan gurunya yang telah berjasa dalam men- didiknya. Al-Fatih sepertinya memahami bahwa kepemimpinan ulama di atas kepemimpinan lainnya. Karena ulama adalah pelanjut tugas para Nabi (al- 'Ulama' waratsat al-Anbiyâ'). Oleh ka- rena itu, sudah sepantasnya kedudukan mereka dimuliakan oleh siapa saja. Penggalan episode kehidupan pen- didikan Muhammad al-Fatih penting untuk diambil ibrahnya. Keteladanan Sultan Murad II, Syekh al-Kurani, Syekh Aaq Syamsuddin, juga Muhammad al- Fatih merupakan salah satu model terbaik dalam dunia pendidikan. Umat Islam saat ini bisa melakukan hal yang sama. Orang tua, guru-guru, dan para pelajar harus melakukan amal jama'i (kolektif) dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk mewujudkan pendidikan yang. berkualitas. Pendidikan yang mampu melahirkan pemimpin Muslim yang adil dan beradab. Pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi the next civ- ilization yang akan memimpin dunia. Wallahu a'lam bis shawab. 4cm Color Rendition Chart