Tipe: Koran
Tanggal: 2017-03-05
Halaman: 19
Konten
-SHALAT lengan n Raga i pada bagaimana shalat yang seharusnya akan. Hatim menjelaskan shalat yang selama alani. lam shalat itu, Hatim menjalankan itu berdasar- erintah yang dituntunkan, ia berjalan menuju t shalat karena takut. Ia mulakan shalatnya n niat dan bertakbir karena keagungan-Nya. yat yang dibaca dipahami dan diresapi. Ru- a penuh khusyuk, sujudnya sarat dengan erendahan hati. Ia tutup shalatnya dengan ud yang sempurna. Salam pun dilakukannya n niat. ual yang dilakukan tak usai dengan rampung- alat yang ia jalani. Tatkala pulang dari menu- shalat, "oleh-oleh" shalat ia bawa sepanjang engan rasa takut kepada Allah. Takut seandai- lah tidak menerima shalat yang ia tunaikan. vaan itu akan ia jaga hingga ajal menjemputnya. ada yang lebih berharga dari kekhusyukan bagai para salaf. Selain akan mendekatkan ada Allah, pahala atas kekhusyukan itu terhapusnya dosa-dosa kecil yang pernah kan. Diriwayatkan dari Usman bin Affan RA, illah bersabda, "Tidak ada yang pantas bagi g Muslim yang tiba saat shalat fardhu, lalu mperbagus wudhu, khusyuk, dan rukuknya i hal itu akan menjadi penghapus dosa yang ikan sebelumnya, selama bukan dosa besar a lakukan." thes & Pendorong Khusyuk emu serta melihat- ung. Dalam shalat, apat menghadirkan m shalat. rakhir adalah khu- kan oleh rasa takut segala perbuatan ania. Menghadirkan lam shalat dapat menundukkan hati. Islam Digest Foto-Foto: Wihdan Hidayat/Republika uga akan mengge- rdoa dan memohon gerakan shalat shalat ditunaikan. ngar doa-doa yang orang-orang yang maksa hati mereka erbakti kepada-Nya. dari Malik bin akan, "Suatu saat hanku di manakah - Kemudian, Allah kepada nya. Wahai pada mereka yang karena-Ku. Karena ku dekat dengan hasta. Jika hal itu tak terjadi maka sungguh mereka akan binasa. Berbagai cobaan dan bala yang ditujukan kepada manusia dapat me- nambah kedekatan hubungan mereka dengan Allah. Dengan catatan, ujian yang dihadapi tersebut diterimanya dengan penuh kesabaran dan rasa ridha, Tingkat kesabaran itu juga dapat memunculkan rasa khusyuk yang luar biasa saat shalat. Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi Allah menyatakan bersama hamba- hambanya yang sedang ditimpa kesulitan, seperti menderita sakit. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata Rasulullah SAW pernah bersabda: Wahai anak Adam, Aku sakit mengapa kalian tidak menjengukku? la menjawab: Bagaimana aku menjenguk- Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta Alam? Allah berkata: Bukan- kah engkau tahu hamba-Ku si fulan sedang sakit dan tidak pula engkau menjenguknya. Padahal, jika engkau mengetahui dan menjenguknya, nis- caya engkau dapati Aku di sisinya. Islam Digest A erst العالم له لال م عالم المواله م عالم است سوله المومية Ampo Cers emandim God ar uru Atma menatap hujan yang belum berhenti turun di beran- da. Hidungnya kembang kem- pis demi menghirup ampo, atau aroma tanah selepas hu- jan itu. Ia tersenyum menatap hujan yang pertama turun di kota ini setelah sekian lama hari-hari kota ini tengadah me- natap matahari yang memanggang. Kopi di sampingnya mendingin ia biarkan. Radio yang kemrosok karena kehilangan sinyal, juga tidak ia pedulikan. Hanya rintik hujan yang ia dengarkan. Hanya bau ampo yang menguasai keheningan benaknya. Ah, ampo ini adalah aroma masa kecilnya dan juga gairah hidupnya sebagai guru honorer di kota pinggiran yang penuh suka duka ini. Kata orang guru Atma itu aneh. Mengabdi sebagai guru di kota pinggiran ini. Ia mengajar di sebuah SMP yang berbasis agama, yang ham- pir putus asa mendidik kebaikan kepada sis- wanya. Pun masyarakat nyaris tak peduli dengan pendidikan atau agama. Mereka hanya bekerja menghalalkan segala cara. Kejahatan adalah sebuah kebiasaan yang tak bisa dihen- tikan, apalagi sekadar pendidikan agama di madrasah. Namun guru Atma adalah seorang yang impulsif. Kebetulan saja ia ditawari seorang temannya yang menjadi kepala sekolah di sini. "Kau masih mau menjadi guru? Aku mau menawari kamu mengajar di sekolahku. Kebetulan sekolahku butuh guru bahasa. Tentu ijazahmu lebih berguna di sini. Soal tempat tinggal, aku ada sebuah rumah kosong di sini. Dan kurasa ini lebih baik daripada menjadi pelukis potret di kampung sana?" Begitulah hanya karena tawaran dari temannya itu, guru Atma mengangkat koper pakaiannya. Juga lantas alat-alat lukis itu ia susulkan belakangan. Aktivitasnya yang kedua ini tak ingin ia tinggalkan. Entah ia ingin menggambar apa di kota baru ini. Kota yang nyaris separuhnya telah gosong oleh kemarau panjang. Sedang separuhnya lagi terbakar karena kekacauan dan kerusuhan. Mungkin guru Atma benar-benar berminat melukis kota ini yang masyarakat nyaris tak peduli dengan pendidikan, agama, bahkan Tuhan. "Aku gaji di sini sesuai dengan kemam- puanku. Maklum, sekolah tak banyak murid- nya. Yang penting kau bisa makan dan hidup di sini. Aku tahu kau pasti mau. Aku kenal kau. Aku yakin kau masih idealis seperti zaman kuliah dulu. Bukan seperti mereka yang gemar menjual ijazah S1 untuk mencari pekerjaan atau menjadi pegawai negeri." ed lo wall or all codlarfon. clean comm Kawannya itu memang tak perlu membujuk guru Atma. Sekarang guru Atma sudah 1 tahun mengajar di sekolah itu. Sekolah yang menga- jarkan agama dan pelajaran umum menjadi satu. Kawannya yang idealis itu masih percaya bahwa pelajaran agama bisa mengubah wajah bopeng kota ini menjadi lebih baik. Ia malah takut jika dibuat pelajaran umum saja. Pun ia juga melepaskan diri dari pemerintah yang setengah-setengah mau membantunya. Memberi bantuan tetapi juga memotong untuk biaya administrasi, biaya ketebelece, dll. Mereka juga suka minta begini dan begitu kalau sudah merasa pernah memberi bantuan se- suatu. Mata pelajaran ini dihilangkan, yang itu ditambah, diganti kurikulum baru, pelajaran agama juga tak perlu banyak-banyak, sebagai selingan saja. Maka, si kawan guru Atma itu pilih berlepas diri dari pemerintah. Perusahaan tekstil dan kebun sawitnya di Sumatra itu ia jual untuk membuat sekolahan di Kota Solo ini. Sekarang, lima tahun berdiri sekolah ini masih tak banyak berubah. Jumlah muridnya hanya satu kelas semua. Kelas I satu kelas, kelas II satu kelas, dan kelas III satu kelas. Lulusannya bisa dihitung dengan jari setiap akhir tahun. Tapi sekolah itu tetap bertahan. Pemerintah juga enggan menutupnya. Mereka khawatir jika tidak ada penduduk di kota ini yang sekolah, maka akan menjadi sorotan dunia. Mereka lebih takut di-bully oleh netizen di media sosial. Guru Atma mengajar bahasa di kelas I sampai III. Ia pun senang-senang saja. Tidak peduli dengan gajinya. Atau jumlah jam me- ngajar. Ketika longgar, ia selalu mudah tergerak untuk berada di kelas dan mengajarkan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada anak- anak itu. Walaupun anak-anak kadang kala tak Galler 1100 or the que Cl Iodt allro OLEH ANDRI SAPTONO peduli, tidak memperhatikan, memainkan gawai di kelas, atau malah ada yang bercumbu di WC guru. Guru Atma sebenarnya mengeta- hui hal itu. Tapi ia tetap tersenyum. Mengajar dengan cara yang tak biasa. Kadang anak-anak malah merasa heran dengan kebiasaan guru baru itu. Harusnya guru itu tidak bertahan sampai setahun ini. Harusnya ia sudah hengkang dari dulu-dulu seperti guru lainnya. Ataukah ia memang orang-orang gila seperti sang kepala sekolah yang suka berpenampilan mirip koboi itu? Jam sebelas berdenting di belakang pung- gung guru Atma. Gerimis masih nggrejeh untuk pertama kalinya hujan selama satu tahun kemarau ini. "Ini hujan pertanda baik atau buruk?" tanya suara yang tiba-tiba naik dari halaman. Pak kepala sekolah ternyata yang datang. "Sejak Magrib sampai sekarang masih gerimis tak mau henti-henti." Guru Atma tersenyum menatap temannya datang, lalu kembali pada gerimis di halaman, sejenak beralih pada seekor bangkong yang keluar dari balik pot yang terbalik. "Tanya pada bangkong itu. Dia pasti lebih tahu?" "Andai saja ia bisa bicara, kawanku." "Tentu ia bisa bicara." "Ya, tapi aku kan tak tahu bagaimana bahasa mereka?" "Oh, kau tak perlu menjawabnya. Cukup dengarkan saja. "Benarkah. Aku tak perlu mengajaknya bicara, cukup mendengarkan saja mereka berkata." "Ya, kita tunggu saja. Semoga saja ia mau bicara soal hujan sesore ini." Tapi, si katak besar tidak mau bicara. Si bangkong hanya berdiam di halaman, mem- biarkan tubuhnya yang bintil-bintil seperti ku- til itu terguyur gerimis. Sesekali lidahnya men- julur kalau ada serangga kecil atau nyamuk yang melintas. Makhluk-makhluk itu akan ber- malam selamanya di perut sang bangkong itu. "Sial! Ia sepertinya tak mau bicara!" "Ya, bahkan bangkong itu pun tak mau bicara pada kita. "Ah, aku jadi takut dengan amsal hujan pertama kali ini kawan." "Tapi aku masih punya sedikit harapan baik. Aku masih punya firasat itu. Sang Pemilik Hujan tidak serta merta murka. Ia masih menanti kita menjadi orang baik yang disukai- Nya." "Tapi dari segi apa kau bisa bicara tentang harapan baik?" "Ampo! Ya, kau bisa cium ampo tanah halaman ini?" Si kepala sekolah mengangguk. Sementara guru Atma membuatkan kopi untuk kawannya. Seperti biasa keduanya akan berbincang panjang tentang hujan di beranda ini. "Ampo ini terasa gurih dan nikmat seperti masa kecil kita," kata pak kepala sekolah. "Ya, aku juga merasa. Semoga di tempat lain juga seperti yang kita rasakan," tukas guru Atma. "Ah, aku sangsi di kota terkutuk ini." "Tidak, tidak jangan sebut kota ini ter- kutuk. Kau yang mengajak aku ke sini. Kau sudah lama tinggal di sini. Aku tak mau men- dengar ungkapan keputusasaan dari kamu." "Yah, begitulah, terkadang aku lelah saja. Maafkan aku." سم الله است "Kau tentu masih ingat cerita yang disampaikan guru SD kita itu. Tentang dua orang pengendara yang datang ke suatu kota. Ketika mereka sama-sama kembali dan ditanyai tentang pengalaman mereka tinggal. Seorang menjawab bahwa kota itu busuk dan penduduknya jahat. Ia tak kerasan tinggal di situ. Sementara orang kedua, ia menjawab bahwa kota itu menyenangkan, penduduknya ramah kepadanya. Dan ternyata kemudian diketahui bahwa yang membuat mereka tidak kerasan tinggal adalah diri mereka sendiri... Yang jahat tidak kerasan tinggal. Yang baik kerasan tinggal. Hati itu cermin pemiliknya malls intom اللغات kediál de m Rendra Purnama/Republika sendiri-sendiri." "Ya, aku masih ingat. Karena guru itu pula aku dan kamu sepakat sesudah dewasa ingin mengabdi sebagai guru." "Ya, kau berhasil membangun sekolah di sini, bahkan tanpa bantuan pemerintah. Kau hebat." "Kau mau membantuku. Melepas kariermu sebagai pelukis potret. Itu membuatku bahagia dan berusaha untuk tetap tinggal di sini." Keduanya tertawa. Meminum kopi dan memakan ubi rebus dengan nikmat. "" "Bau ampo ini pertanda kita tetap tinggal dan mengabdi di sini." Esoknya, hujan berhenti. Tapi siangnya ketika sekolah usai dan guru Atma mau pulang, hujan kembali turun. Di sekolah murid-murid sudah sepi. Tinggal beberapa guru. Tapi mereka ternyata memakai mantel. Hanya pak guru Atma yang tidak memakai. Bahkan si kepala sekolah itu juga tidak membawa payung. "Kau tidak bawa payung?" "Aku ingin berhujan-hujan. Aku ingin mencium bau ampo. Kau cium bau itu di halaman, kan?" "Iya, aku juga menciumnya," jawabnya sambil menutup payungnya. Keduanya berjalan turun di halaman, membiarkan seluruh baju mereka basah oleh hujan dan bahkan buku- buku tas mereka. "Ada sunahnya untuk berhujan-hujan. "Iya, sudah lama kita tak melakukannya. Sunah yang enak untuk berhujan-hujan begini." Mereka tertawa gembira. "Mau mampir di tempatku lagi?" tanya guru Atma. "Ah, gantian saja. Sekarang di tempatku. Istriku tadi membuatkan sop manten untuk mengenang tiga tahun pernikahan kami. Kau kuundang ke tempatku." - "Dengan pakaian basah begini?" "Tidak apa. Nanti kau bisa pakai kaus dan sarungku." Mereka tertawa berjalan keluar dari halaman. Anehnya, begitu keluar bau dari halaman halaman, bau ampo itu makin lama makin tipis. Bahkan, hujan menjadi berbau amis dan jika jatuh di lidah air itu terasa anyir. Ini menakutkan keduanya. Mereka jadi bergidik ngeri. "Tidak semua tempat seperti yang kita duga ternyata. Jalanan tidak bersahabat." "Bahkan taman bermain ini juga berbau sama. Menakutkan. Entah kerusakan apa yang terjadi di sini." "Tanda-tanda akhir zaman telah tiba. Semua didahului dengan keadaan begini. Ayo kita bergegas!" Jalanan, taman bermain, pasar, dan rumah- rumah sedikit sekali yang berbau ampo gurih. Rata-rata-rata berbau anyir dan amis. Keduanya bahkan berlari dari hujan yang seakan mengejar mereka. Berharap segera sampai di rumah kepala sekolah. "Rumahmu terasa jauh sekali. Napasku kembang kempis. Sial napas rokok." "Lima belokan lagi. Kita harus tetap berlari." Keduanya berlari. Mereka kini bertudung buku dan tas dari hujan. Tak peduli dilihati oleh orang-orang yang menepi di pinggir jalan, perempuan pramuniaga di toko-toko, dilihati anak-anak yang bermain di beranda rumah mereka, dilihati pemulung yang menepi di pojok halte. Namun, orang-orang itu sudah mafhum dengan dua guru aneh itu. Konon keduanya seniman nyentrik. Sudah tua masih saja balapan lari saat hujan begini, seperti anak kecil saja! pikir mereka. Dan di ujung jalan itu, terdapat sebuah rumah. Seorang perempuan menunggu di beranda masih dengan celemek di perutnya yang menutupi kehamilannya. Sebulan lagi ia melahirkan. Bayi itu konon adalah bayi pertama yang lahir setelah 10 tahun tidak ada kelahiran bayi di kota ini. Penulis bergiat di Pakagula Sastra, novel terbarunya Lost in Lawu (2016). Novel terbarunya akan terbit di awal tahun ini, insya Allah. REPUBLIKA AHAD, 5 MARET 2017 Sastra CERPEN BERSIMPUH DI SERIBU SUBUH aku ingin telimpuh hingga lumpuh sampai simpuh sujud ini Kau peluk: "sudah áku lawatkan pasrah patuh lewat beribu subuh zikir berduka, wirid syair yang bulirkan air mata duhai, basulah segalapeluh, hisaplah segala keluh!" JALAN SUNYI aku terus bersimpuh.tetap telimpuh hingga lumpuh "Kau lihatlah lututku lunglái. bering- sut. menggelepar seperti ikan terjerat kailMu™ seribu subuhaku tetap telimpuh hingga lumpuh kupukul-pukulkan kening untuk tabuh memohon simpuh pohon-pohon tanpa daun berderet sepanjang jalan. ranting-rantingnya merangas lukai wajah rembulan musim apa ini? seperti juga musim yang lain terseok-seok bergegas ke kubur kemudian setiap orang akan memberi tanda mungkin dengan tunas kamboja atau epitaf pada nisan bercat kusam di luar rumah, entah di kejauhan mana terdengar suara radio 19 di sela gonggong anjing dan geram kucing berkabar tentang jalan sunyi. tentang mimpi yang menguap menje- lang pagi. HUJAN SAAT KEMATIAN MENJEMPUT tuliskan puisi terakhirmu. Aku paham ia akan menutup mataku dengan se- carik kain warna kuning lalu angin jadi semerbak kamboja. hujan jadi bengis yang wingit aku tak bisa menulis walau cuma se- baris kalimat. sungguh, bukan karena miris hanya sebab kesedihan-kesedihan cen- geng mengenang waktu yang tiras menipis seperti kabar lain yang tak pernah penting, ultimatum itu pun hanya bunyi Jari diketuk-ketukkan pada lingir meja saat menunggu pelayan menghidangkan secangkir kopi yang segera lunas untuk menunda kantuk yang sekarat aku tak ingin berbantah. Bukankah se- jarah lebih butuh mitos dibanding peri- stiwa? aku tak ingin bercakap apapun juga, apalagi merundingkan sepak yang rumit bukankah hujan telah turun; saat yang disabdakan sebagai sebuah penanda untukku tuliskan puisi terakhirmu. tapi aku tak menulis apa-apa. tidak satu abjad pun. segala kemungkinan bisa terhempas dari ketinggian, seperti juga waktu yang kehilangan arlojinya hingga detak yang senyap tak lagi sanggup disimak. cuma hanya bisa diduga aku tak pernah berharap pertanyaan- pertanyaan: dari mana asalmu dan arah mana yang kau tuju? aku menolak keramahtamahan itu, sebab di baliknya. senyum selalu khianat aku cuma ingin berkabar bahwa cinta dan curiga selalu membuat murung dan berkabung tuliskan puisi terakhirmu. angin jadi semerbak kamboja. hujan jadi bengis yang wingit baiklah, tanganku akan meraba me- nunjuk surga neraka mana aku akan berselimut BERMUKA-MUKA DENGAN MAUT hujan reda, aku tak ingin berbantah mengapa waktu tak terusik oleh kesedihan-kesedihan yang melahirkan air mata sebab usia tumbuh memanjang menuju keropos semuanya kembali ke arah kehilangan ke sebuah pulau teka-teki samar oleh kabut ketakpastian hujan reda. malaikat berparang menyusup ke pesta mabuk dan mengajak berjoget semala- man.lantas menikam nasib pun sembunyi di ketiak sial. hari habis semua mengelupas seperti penyu copot dari cangkangnya segala bahasa cuma igau riuh yang gagal mengikat makna hujan reda.tapi malaikat berparang itu telah tiba aku dan engkau cuma cacing terjepit kerikil sisa yang lunglai! TJAHJONO WIDARMANTO Tinggal di Ngawi. Buku puisinya Percakapan Tentang Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak, merupakan salah satu pemenang buku puisi 2016 Color Rendition Chart 4cm
