Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian:

Nama: Republika
Tipe: Koran
Tanggal: 2017-03-05
Halaman: 24

Konten


24 OASE REPUBLIKA AHAD, 5 MARET 2017 Ash R Zakaria Subiantoro Ibadah Islam Datangkan Kedamaian Batin cukup taat dalam menjalankan agama me- reka. Subiantoro kecil didaftarkan dalam sekolah Minggu yang digelar sehabis ibadat misa rutin. Oleh Hasanul Rizqa Kunci kesuksesan meluluhkan hati orang tua yang berbeda keyakinan adalah dengan tetap bersilaturahim. B agi R Zakaria Subiantoro, Islam bukanlah sesuatu yang begitu asing. Sejak bersekolah SD hingga SMA di Tulungagung, pria kela- hiran 1960 ini banyak ber- gaul dengan kawan-kawan Muslim. Kendati demikian, masa kecilnya diha- biskan bersama dengan kakek dan nenek- nya penganut kejawen. Adapun kedua orang tuanya mendidik Subiantoro dalam nuansa Katolik. Ketika memasuki pen- didikan SMP, ia bahkan memperoleh nama baptis Zakarias. Kedua orang tua Subiantoro terbilang Aktif di Pergerakan Muhammadiyah Oleh Hasanul Rizqa Saya belum tahu waktu itu (bahwa tidak umum mencatat ketika khotbah berlangsung-Red). Karena ketika khatib membawakan khotbah, saya lihat, (jamaah umumnya) tak ada yang membawa catatan, bahkan banyak justru yang tidur," ujar dia. Ketekunan Subiantoro membuahkan hasil. Pada 2014, ia dinyatakan lulus ujian diklat itu. la dinilai sudah mampu mengisi khotbah di atas mimbar. Sampai saat ini pun, Subiantoro kerap menjadi khatib dalam shalat Jumat di masjid- masjid yang jadwalnya telah disusun Muham- madiyah Jawa Timur. ada 2009, Subiantoro mulai aktif di perg- erakan Muhammadiyah di Jawa Timur. akan tersebut, dirinya mesti menempuh sema- cam ujian setelah pendidikan kilat (diklat). Salah satu bentuknya adalah praktik khotbah Jumat. Sebagai permulaan, Subiantoro melakukan hal yang jarang dijumpai jamaah Muslim pada umumnya, yakni mencatat isi materi khotbah yang ia dengarkan. Bahkan, ia membawa sendiri buku tulis dan pulpen setiap mengikuti khotbah Jumat di masjid-masjid. "Saya sebetulnya malu dengan sekitarnya karena saya satu-satunya jamaah Jumat yang bawa buku dan pulpen untuk catat isi khotbah. tigma terhadap Islam bisa S berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya. Hal inilah yang dirasakan Susan Carland saat berusia 17 tahun. Namun, pengaruh kedua orang tua mu- lai memudar ketika Subiantoro memasuki usia remaja. Tepatnya ketika lulus SMA pada 1980 di Malang hingga Subiantoro menjalani status sebagai mahasiswa di kota yang sama. Dalam masa perantauan itulah Subiantoro memulai pencarian jati diri. Pada 1984, ia diterima bekerja pada sebuah bank konvensional. Kariernya menanjak dari sekadar "tukang fotokopi" sampai menjadi pegawai tetap. Hidayah datang kepadanya dalam masa-masa itu. "Saya masuk Islam sambil terus be- kerja. Pada 1994, saya masuk Islam. Umur ketika itu 34 tahun. Tetapi, memang baru betul-betul mempelajarinya (Islam) pada sejak tahun 2000," kata Subiantoro saat dihubungi Republika, pekan lalu. Menjadi seorang Muslim secara resmi memang diawali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, bagi Subianto- Tatkala malam pergantian tahun baru, ia bertekad mempelajari selu- ruh agama-agama di dunia. Susan saat itu masih seorang non-Muslim atau sama seperti orang tuanya. Namun, tekad intelektual Susan ini justru mendapatkan protes yang berlebihan dari ibunya. Bahkan, sang Selain menjadi ustaz, Subiantoro juga diper- caya memimpin lembaga amil zakat Muham- madiyah cabang Kota Malang. Hal ini lantaran keahlian Subiantoro dalam bidang ilmu ekonomi atau finansial. ibu mengucapkan, "Susan, aku tidak ingin kamu mendekati Islam. Saya tidak peduli bila nanti kamu bahkan menikah dengan seorang pengedar narkoba, asalkan jangan sampai jodohmu seorang Muslim." Betapa terkejutnya Susan ketika itu. Padahal, dalam benaknya Islam masih dipenuhi berbagai stigma negatif, semisal, agama pendukung kekerasan terhadap perempuan dan sebagainya. NEXT OASE >>> Susan Carland Tabir Hidayah di Balik Stigmaisasi Islam Oleh Hasanul Rizqa 1 Kecaman yang berlebihan dari sang ibu malah kian memacu seman- gatnya mempelajari Islam seba- gaimana adanya agama itu. Wihdan Hidayat/Republika ro, ia telah mendekati Islam melalui proses yang lama dalam hidupnya ketika masih beragama lain. Awalnya, kenang Subiantoro, ia terke- san dengan cara orang-orang Islam ber- ibadah setiap hari ke masjid. Sejak kecil, ia melihat bagaimana kawan-kawannya yang Muslim setiap petang bersiap-siap untuk melangkahkan kaki ke masjid begitu mendengar suara azan berkumandang. "Jadi, ada ketenangan saat melihat yang seperti itu," ujarnya. Subiantoro menyimpan kesan yang mendalam tentang Islam. Bagaimanapun, momentum peralihan iman bermula dari jalinan cintanya dengan Ina (bukan nama sebenarnya). Gadis itu ia temui pertama kali dalam sebuah kesempatan pendidikan kilat (diklat) Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) se-Jawa Timur sekitar1992. Pada awalnya, menurut Subiantoro, perempuan asal Pare, Kediri, itu belum betul-betul menyadari bahwa pria yang sedang mendekatinya bukanlah seorang Muslim. Belakangan setelah menjalani long distance relationship, Subiantoro meng- ungkapkan tentang diri dan keluarganya serta apa agama yang ia peluk saat itu. Namun, hubungan kedua insan ini tidak memudar dan malah beranjak ke tingkat yang lebih serius. Kala itu, Su- biantoro yang sudah menginjak usia kepala tiga justru mulai semakin tertarik terhadap agama yang dianut Ina, yaitu Islam. Subiantoro menceritakan, saat itu ke- dua orang tuanya kerap memperingatkan- nya segera menikah agar tak terlalu lama membujang. Saat itu Subiantoro mencu- rahkan isi hatinya kepada ibunda. Ia ingin beralih agama menjadi Muslim. Sebab, ia merasa bahtera rumah tangga akan lebih baik bila suami dan istri berada dalam ke- yakinan yang sama dan saling menguatkan. "Perkiraan saya, saya selalu tak merasa cocok dengan yang seiman (Katolik). Saya bilang ke ibu, 'Bu, kalau seandainya saya pindah agama, bagaimana?' Ibu menjawab, 'Kalau memang lebih baik, tidak apa-apa. Sang ibu ternyata lebih menerima pi- lihan hidup Subiantoro memeluk Islam. Sebab, menurut Subiantoro, ibunya itu me- rasa Subiantoro telah tumbuh sebagai Setidaknya, ia ingin menjawab perta- nyaan, ada apa dengan Islam, sehing- ga pengedar narkoba dianggap lebih baik ketimbang seorang Muslim? Seperti dirawikan Aboutislam.net, Ahad (26/2) lalu, Susan hanya perlu waktu dua tahun untuk hidayah datang kepadanya. Pada usia 19 tahun, Susan akhirnya memeluk Islam, agama yang ia pelajarinya tanpa tendensi. Susan menceritakan, dirinya menjadi seorang mualaf tanpa arahan, apalagi paksaan siapa pun. Itu murni timbul dari kesadaran batinnya sendiri. Yang paling terkejut menerima. "" kabar ini tentu ibunya. Pada saat itu Susan masih belum mengungkapkan jati dirinya yang telah meninggalkan agama Nasrani. Islam Digëst dokpri Suatu malam, Susan hendak me- nikmati makan malam buatan ibunya, tetapi sajian yang terhidang adalah daging babi. Saat itulah Susan buka suara tentang agama barunya kini. "Ibuku langsung memelukku. Tetapi, ia juga menangis," ujar Susan Carland. Beberapa hari kemudian, Susan mulai mengenakan hijab. Per- lahan-lahan, hubungan ibu-anak itu mulai merenggang, Bagaimana kisah Susan Carland "Meski ikatan pernikahan awal mula datangnya hidayah, Subiantoro terkesan dengan cara orang-orang Islam beribadah setiap hari ke masjid." sosok yang mandiri dalam menentukan jalan hidup. Hal ini berbeda dibandingkan sang Ayah. Subiantoro mengaku, jalinan komunikasi antara dirinya dan ayah sempat terputus hingga enam tahun. "Kalau ibu (mengatakan), 'Ya selama ka- mu lebih baik, maka tak masalah.' Se- dangkan, kalau Bapak, lama sekali jadinya kami tak berbicara satu sama lain," jelasnya. Melunak Menurut Subiantoro, kehadiran sang buah hati ini ternyata melunakkan sikap ayahnya yang sejak saat itu menjadi seorang kakek. Apalagi, sejak menjadi Muslim, Subiantoro tak putus-putusnya mempererat silaturahim dengan ibu dan ayahnya serta keluarga dari pihak istri. Pada akhirnya, hubungan Subiantoro dengan ayah kandungnya perlahan-lahan kembali pulih. Sang ayah menerima komitmen anaknya itu, termasuk dengan tidak lagi mempersoalkan peralihan iman. "Saya selalu tunjukkan ke ibu bahwa setelah saya Islam, saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik, ya itu (dalam hal) kebiasaan diri ataupun tali silaturahim. Hingga akhirnya, anak pertama saya lahir, hati Ayah pun menjadi luluh," ujarnya. Tahun 2000 merupakan puncak karier Subiantoro dalam dunia perbankan. Ia menjadi direktur utama sebuah bank kon- vensional di Jawa Timur. Namun, tujuh ta- hun kemudian Subiantoro mengundurkan diri dari jabatannya dan pada 2008 mulai merintis usaha sendiri sebagai pedagang. Dengan berwirausaha, Subiantoro lebih memiliki waktu untuk banyak hal, ter- masuk mengikuti pelbagai kajian Islam. Ia menyebut, hanya sejak 2000 dirinya mulai serius mendalami seluk-beluk Islam secara intens.ed: nashih nashrullah Pada Januari 1994, Subiantoro dan Ina akhirnya menikah sebagai pasangan Mus- lim. Kehidupan rumah tangga pasangan ini segera diliputi kebahagiaan. Sebab, tidak lama kemudian mereka dikaruniai buah hati tercinta. Anak pertama Subian- toro dan Ina lahir pada Oktober 1994. dalam menemukan Islam? Apakah Islam justru membuatnya kian bahagia atau sebaliknya? Tunggu kisahnya dalam "Oase" mendatang. ed: nashih nashrullah Color Rendition Chart 4cm